Another part of notonegoro.net

Suatu hari pernah saya dapat email (klik gambar untuk lebih jelas) seperti ini:

Sekadar gambaran, di atas adalah “peta” jalur Sukamantri, Bogor bagi mereka yang suka bersepeda gunung, jalur sepanjang 12,5 km lengkap dengan berbagai anekan tanjakan; jalan aspal, setengah aspal, dan bebatuan. Kemudian bisa turun (pulang) melalui jalan yang sama ketika naik (berangkat) tadi atau melalui sisi bukit yang lain, nah “peta” di atas menggambarkan pulang melalui sisi bukit yang lainnya.

Koq bisa ya ngasih “peta” seperti itu?!? Itu “peta” dalam hutan lagi. Duh, saya saja di jalanan Jakarta masih suka nyasar walau sudah lihat peta lengkap dengan gambar dan nama jalan apalagi yang cuma berdasarkan tumbuh-tumbuhan atau kontur tanah sekitar! Tertulis pula, bukan dalam bentuk gambar atau hasil gps! “Peta” itu juga mengingatkan saya sama yang ini.

Yang terkadang bikin lebih heran, para pesepeda itu bisa-bisanya menamakan jalan-jalan yang dilalui (tidak Sukamantri saja) berdasarkan karakteristik tempat tersebut dan mereka semua tampaknya sehati bila pada ngomongin jalur yang sama, seolah-olah faham jalur yang dimaksud walaupun sang pesepeda itu baru ikutan nimbrung obrolan. Tanjakan batu, warung tutup, pohon nanas, pohon tumbang, empang, tulisan SPA di pohon adalah beberapa “nama” yang digunakan untuk jalan yang dilalui. Bukan kenapa-napa, tapi koq saya merasa aneh saja bagaimana ketika petunjuk di atas semua itu sudah tidak ada lagi dan tidak ada orang yang dapat ditanya tentang jalan sekitar serta juga betapa telitinya mereka sepanjang perjalanan. Heran sih, tapi salut euy ada yang bisa gak nyasar ngikutin peta itu.. Hehehe..

Ya.. ya.. haree genee saya memang belum punya GPS.